Pendidikan Sejarah Tanggung Jawab Membangun Karakter Bangsa
Pendidikan pada suatu bangsa adalah
ikhtiar bangsa tersebut mempersiapkan generasi muda bangsa guna
melanjutkan estafet berbangsa. Perumusan pendidikan, dalam hal ini
kurikulum, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi
dan politik. Dalam sejarah pendidikan, perumusan kurikulum pendidikan
aspek politik berbangsa cukup dominan mempengaruhi kebijakan dunia
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari praktek kurikulum pendidikan pada
masa Orde Lama dengan konsep Nasakom sampai dengan Orde Baru dengan
tema besar pembangunan.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 poin 1 menyebutkan “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” Selanjutnya pada
point 19 menyebutkan “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.”
Pasal di atas menyebutkan posisi
kurikulum sebagai seperangkat sistem pendidikan yang didesain guna
mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum pendidikan nasional didesain untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan sejarah sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan nasional juga dituntut mengarahkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam nomenklatur UU No.20 tahun
2003 pasal 37 pendidikan sejarah pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah dapat dikelompokan dalam pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), seni budaya dan muatan lokal. Ketiga kelompok pendidikan ini
(baca : IPS, Seni-Budaya dan Muatan Lokal) pada batas tertentu
pendidikan sejarah dapat diintegrasikan.
Sejauh ini posisi pendidikan sejarah
dalam kurikulum dilihat dalam dua perspektif. Pada jenjang dasar (SD dan
SMP/SLTP) pendidikan sejarah diorganisasikan dalam rumpun pendidikan
IPS sedangkan pada jenjang pendidikan menengah (SMA) pendidikan sejarah
berdiri sendiri sebagai mata pelajaran sejarah, sementara pada sekolah
kejuruan SMK pendidikan sejarah sebagaimana tingkat dasar (SD dan
SMP/SLTP) pendidikan sejarah menjadi bagian dalam pendidikan IPS.
Perbedaan posisi pendidikan sejarah
dalam jenjang pendidikan mungkin saja dipengaruhi oleh cara pandang
eklektik, yakni cara pandang dalam ilmu konseling yang berusaha
menyelidiki berbagai sistem metode, teori atau doktrin, yang dimaksudkan
untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat.
Cara pandang eklektik sebagaimana di atas meniscayakan pendidikan
sejarah pada jenjang pendidikan disesuaikan dengan metode, teori dan
doktrin pada jenjang pendidikan mana diajarkan.
Dimasukkannya pendidikan sejarah dalam
setiap jenjang pendidikan adalah bagian dari ikhtiar membangun karakter
peserta didik. Pendidikan sejarah dipandang sangat strategis untuk
menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan karakter bangsa pada peserta
didik. Lewat pendidikan sejarahlah nilai-nilai kepahlawanan, budaya
bangsa, tradisi serta kecintaan terhadat bangsa ditanamkan pada peserta
didik.
Hamid Hasan (2008) mengemukakan beberapa
potensi pendidikan sejarah dalam mengembangkan karakter bangsa pada
peserta didik di antaranya :
1. Mengembangkan kemampuan berfikir kritis,
2. Mengembangkan rasa ingin tahu,
3. Mengembangkan kemampuan berfikir kreatif,
4. Mengembangkan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan,
5. Membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan
6. Mengembangkan kepedulian sosial
7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi
8. Mengembangkan kemampuan mencari, mengelola, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi.
2. Mengembangkan rasa ingin tahu,
3. Mengembangkan kemampuan berfikir kreatif,
4. Mengembangkan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan,
5. Membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan
6. Mengembangkan kepedulian sosial
7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi
8. Mengembangkan kemampuan mencari, mengelola, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi.
Kedelapan potensi yang ada pada
pendidikan sejarah mestinya menjadi perhatian guru sejarah dalam proses
embelajaran sejarah. Jika ke delapan potensi ini dapat digali dari siswa
dengan pembelajaran sejarah maka akan tumbuh karakter bangsa yang
“kuat” pada peserta didik. Dan karakter bangsa yang kuat tersebut akan
melahirkan bangsa yang ‘kuat’ mandiri pada bangsa sendiri.
Belajar Dari Guru Bangsa : Peran Pendidikan Sejarah
Mengembangkan sikap kebangsaan pada
peserta didik sepertinya sudah menjadi tugas wajib pendidikan sejarah
tidak hanya di Indonesia. Di seluruh negara di dunia mengamanahkan tugas
tersebut pada pendidikan sejarah. Depertemen Pendidikan New York (dalam
Hamid Hasan, 2012 ; 24) misalnya, menetapkan tujuan pendidikan sejarah
pada jenjang menengah (SMA) sebagai berikut :
- The skills of historical analysis include the ability to: explain the significance of historical evidence; weight the importence, reliability, and validity of evidence. understand the concep of multiple causation; understand the importance of changing and competing interpretations of different historical development.
- Establishing time frames, exploring different periodisations, examining themes across time and within cultures, and focusing on important turning points in world history help organize the study of world cultures and civilizations.
Tentunya terdapat banyak materi atau
tema pembelajaran sejarah yang dapat menumbuhkan karakter bangsa pada
peserta didik. Dari sekian banyak materi atau tema tersebut salah satu
materi yang relevan diajarkan untuk mengembangkan karakter bangsa adalah
materi tentang ketokohan pahlawan nasional atau dalam bahasa yang
akhir-akhir ini populer mengajarkan karakter Guru Bangsa.
“Guru Bangsa” adalah sosok yang
mempunyai andil dalam memploklamirkan dan memajukan bangsa ini dalam
bidang apapun. Pendek kata, Guru Bangsa adalah pahlawan bagi bangsa
ini. Terdapat 165 pahlawan nasional yang telah dipublikasikan
Kementerian Sosial RI sampai dengan tahun 2014, kemungkinan ditambahkan
jumlah pahlawan nasional masih sangat terbuka. Mereka adalah manusia
terbaik yang pernah dilahirkan oleh zamannya dan menorehkan tinta emas
bagi bangsa ini.
Mengajarkan ketokohan Guru Bangsa adalah
tugas pendidikan sejarah. Tujuan utama dari belajar terhadap Guru
Bangsa ini adalah transformasi nilai kepada peserta didik. Sepintas lalu
gagasan ini sepertinya mudah namun sejatinya dalam praktek pembelajaran
guru sejarah tetap harus memperhatikan beberapa hal penting dalam
proses pembelajaran. Setidaknya dalam proses “Belajar Dari Guru Bangsa”
ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses transformasi nilai
Guru Bangsa antara lain :
- Peserta didik sebagai generasi bangsa bukanlah benda mati, mereka adalah generasi yang penuh idealisme, potensi dan pendukung bangsa ini di kemudian waktu. Pendidkan sejarah harus memberikan ruang tafsir terbuka bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya. Guru sejarah harus dapat “menghantarakan” nilai sejarah ke dalam ruang hidup peserta didik. Sikap para Pahlawan Nasional terhadap orang Belanda tidak dapat ditafsirkan secara “kaku” bahwa orang Belanda harus dimusuhi. Tetapi terdapat nilai-nilai yang melanggar Hak Asasi Manusia yang diperankan orang Belanda di masa lalu dan karena itu dimusuhi seperti menindas, eksploitasi dan memaksa.
- Belajar pada Guru Bangsa tidak sekedar belajar tentang “tanda.” Mengajarkan tentang ketokohan Guru Bangsa tidak sekedar mengajarkan tentang kapan dia lahir, dimana dia lahir, kapan dia meninggal dan di mana dikebumikan. Guru sejarah harus dapat mengajarkan tentang “nilai.” Tentang nilai baik apa saja yang turut mempengaruhi jati diri Guru Bangsa tersebut, masyarakat dan budaya seperti apa yang membentuk karakter sang Guru Bangsa. Dalam tahapan ini tugas guru sejarah adalah melakukan kontekstualisasi nilai dalam ruang hidup sekarang dimana peserta didik hidup.
- Mengajarkan sikap hidup yang dilakukan Guru Bangsa. Hal yang juga sangat penting diajarkan guru sejarah adalah sikap hidup dari Guru Bangsa. Bagaimana seorang Guru Bangsa semisal Tjokroaminoto bersikap terhadap orang kecil atau buruh pabrik karet yang diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Bagaimana seorang Muhammad Hatta meski di pembuangan belantara Boven Digoel Papua di tahun 1926, buku tetap menjadi “teman” dekatnya megisi waktu-waktu kosongnya. Selain itu yang dilakukan Hatta adalah menulis dan diskusi. Bagaimana juga seorang Mohammad Natsir perdana menteri RI di tahun 1950 dengan baju usang dan robek bertambal dimana-mana sampai seluruh baju sudah tertambal. Natsir seorang Perdana Menteri yang sangat sederhana dalam hidupnya.
- Mengajarkan konsistensi atau komitmen hidup Guru Bangsa. Guru Bangsa adalah contoh terbaik orang-orang yang tetap konsisten terhadap janji, juga terhadap komitmen mereka pada prinsip kebenaran yang dipegang, hal yang jarang ditemukan di zaman kini. Ketika Pemerintah Singapura mengeksekusi mati Serda Usman dan Kopral Harun, Wakil Presiden Mohammad Hatta bersumpah tidak pernah menginjakan kakinya di Singapura. Mungkin saja sumpah ini dinilai keliru tetapi komitmen Hatta selama itu (dari tahun 1968-1980) sampai akhir hayatnya Hatta tetap dijalankan, Hatta tak pernah lagi menginjakan kakinya di Singapura.
- Mengajarkan demokrasi dan penghargaan terhadap pendapat. Sikap menghargai perbedaan pendapat bagian penting dari sejarah Guru Bangsa. Meski berbeda pendapat Tjokro tetap menghargai sikap Samaun yang lebih memilih gerakan sosialis-revolusioner. Hal yang sama juga ada pada sikap Mohammad Natsir terhadap Soekarno karena berbeda pendapata sistem kenegaraan Natsir memilih mundur dari perdana menteri secara arif dan bijaksana.
Epilog : Guru Bangsa, Mata Air Keilmuan yang Tak Pernah Kering
Ibarat sumur zam-zam yang tidak pernah
kering dan tidak pernah menghapus dahaga. Setiap kali airnya diteguk
saat itu juga rasa ingin meneguknya lagi akan terasa. Demikianlah mata
air kelimuan dari para Guru Bangsa di negeri ini bagi pecinta ilmu rasa
dahaga itu terus mengalir dan mengalir. Ada banyak hikmah di sana, pada
diri guru Bangsa juga pada sikap hidup Guru Bangsa, tentang kejujuran,
tentang penghargaan, tentang kasih sayang dan tentang cinta.
Rabu 15 April 2015 yang lalu penulis
sempatkan untuk menonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto pada salah satu
bioskop di Jakarta. Seperti film-film Guru Bangsa yang lain, Ahmad
Dahlan atau Soekarno, film Tjokro pun masih sepi dari geliat anak muda
untuk menonton. Apa sebababnya?? Mungkin saja jawabanya ada pada guru
sejarah. Memang harus diakui altar sejarah dan pendidikan sejarah serta
guru sejarahnya masih bergelut dengan segudang masala. Ini menjadi tugas
penting kita bersama pengambil kebijakan, institusi pendidikan, para
guru meramu gagasan mencarikan solusi terbaik.
Sumber : http://hminews.com
0 komentar:
Posting Komentar