Kecenderungan serba instan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan, dari hari ke hari semakin kuat. Dalam
memperoleh ilmu pengetahuan, seorang serjana yang sangat cepat
memperoleh gelar sarjana S1 atau S2 tanpa melalui proses semester
berjalan. Mereka hanya membayar semua ketertinggalan semester lalu
didaftarkan masuk menjadi peserta ikut wisuda dan langsung saja
mendapatkan ijazah. Pelajar/mahasiswa hari ini ingin ‘sekali seduh
langsung jadi’ siap disantap, layaknya makanan instan. Padahal
kenyataannya, ilmu pengetahuan tidak seperti makanan instan yang cukup
diseduh langsung dinikmati.
Seorang sarjana instan akan memunculkan
kecemburuan sosial dan memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga
pendidikan yang mengeluarkan ijazah tersebut. Sarjana yang sudah
berproses mati-matian selama pendidikan berlangsung, mengikuti semester
berjalan, melaksanakan kewajiban di kampus seperti membayar SPP,
mengerjakan tugas-tugas. Sementara ada orang yang tiba-tiba mendapat
gelar serjana namun selama pergaulan sosialnya tidak pernah terdengar
kabar bahwa dia pernah kuliah. Tentu masyarakat mempertanyakan dari mana
gelar itu didapatkan.
Hasil kerja keras akan menghasilkan
kepuasan tersendiri. Mengutip dari pernyataan Gus Dur, ”Saya tidak
menilai berapa indeks prestasi seorang sarjana yang didapatkan dari
kampus tapi saya menilai sebesar apa proses perjuangan dalam memperoleh
nilai tersebut.” Selain dari pada itu Mahatma Gandi mengatakan bahwa
“kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil , berusaha dengan keras
adalah kemenangan yang hakiki.”
Proses Instan
Terkadang kita hanya menunggu sesuatu
yang untuk suatu kejutan yang datang dari langit. Belajar di institusi
pendidikan formal itu, sebetulnya merupakan proses untuk mendapatkan
pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi,
berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama, agar menjadi pribadi
yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak ‘kuper,’ punya
prinsip hidup yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak
plin-plan. Pada hakikatnya bahwa proses pendidikan mengajarkan diri
menjadi seseorang yang rasional, objektif, dan sistematis agar memiliki
kerangka pikir yang fundamental dan dapat dijadikan sebagai referensi
dalam setiap problematika sosial yang terjadi di sekeliling.
Maka dari itu didalam kampus bukan hanya
diajarkan tentang displin ilmu sesuai jurusan masing-masing namun, juga
diajarkan dengan moral, etika pergaulan dan nilai-nilai karakter dalam
bermasyarakat. Bagaimanapun, pengetahuan yang sempit sama berbahayanya
dengan pengetahuan tanpa karakter. Pengetahuan intelektual yang tinggi
tanpa diimbangi nilai-nilai karakter diibaratkan seorang pemuda memegang
sebilah pedang sementara dalam keadaan mabuk. Maka seorang sarjana yang
hanya langsung menerima ijazah tentu akan kewalahan dalam menghadapi
tantangan sosial apalagi mempertanggung jawabkan nilai akademiknya.
Aktualisasi terhadap nilai-nilai akademik tercermin dari seorang sarjana
yang betul-betul melewati sistem pendidikan yang baik, bukan sarjana
kampungan, seperti Tarzan masuk kota, tetapi dia dapat menjadi agen of change di tengah arus problematika yang ada.
Maraknya Plagiat
Keengganan untuk melakukan sesuai
jalannya sistem akademik, tidak jarang di antara para calon sarjana
meng-copi-paste skripsi (plagiat) yang suda jadi, atau bahkan
menggunakan biro jasa pembuatan skripsi, atau tesis. Karena bagi mereka
yang diutamakan memang bukan pengetahuan melainkan status, ijazah, atau
gelar. Agar bisa diakui eksistensinya di masyarakat kalau dia itu punya
title akademik.
Menjamurnya institusi yang menawarkan
gelar hanya dengan harga Rp 5 sampai 8 juta, ini tidak terlepas dari
berfikir instan, padahal yang demikian itu merupakan suatu pelanggaran
sistem dan pengkhianatan terhadap prinsip akademik. Membuat tesis sering
dipandang calon serjana sebagai suatu yang amat berat, sehingga timbul
rasa enggan untuk melaksanakan bahkan memulainya. Maka jalan pintas
adalah “plagiat.” Memang, menyusun suatu karangan ilmiyah bukanlah
pekerjaan yang mudah. Apa saja yang dikemukakan dalam skripsi, tesis,
harus dapat dipertanggugjawabkan berdasarkan data empiris. Namun
keharusan itulah yang sangat berharga bagi seorang yang nantinya
menyebut dirinya seorang sarjana.
Bagi sarjana harus dapat berpikir ilmiah
objektif dan rasional. Ia harus mampu d membiasakan dirinya bersikap
ilmiah. Membuat tesis memaksa calon sarjana untuk melakukan penelitian
secara ilmiah dan dengan demikian merupakan latihan yang sangat
bermanfaat bagi persiapan sebagai seorang ilmuwan. Dan sikap seperti itu
telah dipupuk dalam perkuliahan, maka skiripsi, tesis merupakan bukti
tentang sikap, cara berfikir dan menghasilkan karya ilmiah.
Sebaliknya cara ‘potong kompas’ atau
proses yang serba instan yang diterapkan dalam sebuah institusi sekolah
dan perguruan tinggi tidak akan pernah menghasilkan generasi bangsa yang
kompeten dan kreatif tetapi hanya akan menghasilkan produk-produk
pragmatis.
Berikut ini ada beberapa sistem yang sering diterapkan di kampus-kampus di antaranya: pertama proses
pembelajaran dalam semester pendek. Sistem semester pendek itu, pasti
tergesa-gesa karena waktu yang singkat harus menghabiskan bahan banyak.
Akibatnya dosen pun memberikan secara serampangan sedangkan mahasiswa
pun menerimanya juga sepintas lalu tanpa pengendapan.
Kedua Program semester panjang.
Karena waktu pertemuannya selalu mengalami jeda, memungkinkan mahasiswa
yang rajin untuk membaca ulang memahami materi yang diajarkan
mengunyah, merenungkan, dan merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari
tetapi dalam semester pendek apa yang diterima mahasiswa dari dosen
tidak sempat diserap, dikunyah, direnungkan, apalagi direfleksikan,
tetapi langsung ditelan begitu saja ujian. Persis seperti orang menelan
obat: agar tidak pahit, obat itu ditelan dengan air minum atau
buah-buahan untuk memanipulasi rasa pahitnya.
Menelan itu berbeda dengan mengunyah
yang memiliki ritme dan unsur rasa, memerlukan proses kesabaran dan
waktu sampai 32 kali (pesan dokter) sedangkan ketika menelan akan terasa
nguntal. Sekali barang dilempar ke mulut, langsung ditelan.
Penulis masih teringat waktu kecil dulu
saat belajar mengaji, sebelum memulai pelajaran mengaji diharuskan agar
setiap santri terlebih dahulu mengangkat air dari sumur ke rumah guru
ngaji tersebut, satu orang santri satu jergen berukuran 5 liter air,
kalau yang kelas 5-6 SD diharuskan membawa 2 buah jerigen dengan ukuran
yang sama diangkat dengan terseok-seok. Jarak dari sumur dengan rumah
guru ngaji sekitar 100 M. Setelah semua santri mengangkat air
selanjutnya mengambil sapu lidi untuk menyapu, ada yang menyapu di bawah
kolong rumah, ada juga yang menyapu lantai atas sampai bersih. Tidak
berhenti sampai di situ, selanjutnya kami diarahkan ke dapur untuk
mencuci piring. Setelah semuanya beres barulah mulai membuka Al Qur’an
untuk dibaca. Dan dibaca berkali-kali sekitar 5-8 kali yang disebut Mandarras
(istilah Mandar) barulah datang guru ngaji didepan kita untuk mengajar
sambil membawa sebuah rotan kecil yang berukuran panjang kira-kira 60
CM. Satu kali melakukan kesalahan rotan tersebut meluncur kearah bagian
paha atau tangan. Begitulah proses panjang terus menerus berjalan sampai
masa Khatam bacaan Al-Qur’an.
CPNS Berijasah palsu
Maraknya CPNS yang berijazah palsu
belakangan ini, marupakan suatu fanomena pendidikan yang memilukan dan
memalukan. Kita tidak bisa bayangkan suatu perguruan tinggi ternama di
Indonesia Timur bisa-bisanya mengeluarkan ijazah palsu. Seperti yang
terjadi pekan lalu UNM berhasil mengidentifikasi setidaknya 11 CPNS yang
berijasah palsu. Institusi yang dulunya dikenal sebagai penghasil guru
terbaik ini komplain lembaga mereka digunakan sebagai alat untuk
mendupliksi ijazah lalu, dimanfaatkan untuk mendaftar CPNS.
Anehnya bahwa yang menggunakan ijazah
palsu ini di BKD masing-masing telah dinyatakan lulus. (Fajar 28 Des
2014). Kalau yang orang berijazah palsu menjadi abdi negara dalam suatu
instansi, maka dikhawatirkan akan menjadi orang tidak bertanggung jawab
dan cenderung korup karena ijazah yang digunakan dalam mendaftar PNS
berasal dari proses yang tidak benar. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang
berasal dari yang tidak benar pasti akan berakhir degan tidak benar
pula.
Kita
berharap pemerintah betul-betul dapat menyeleksi CPNS dengan penuh
hati-hati, agar proses ijasah palsu tidak lagi terulang dalam proses
penelimaan CNPS berikutnya. Aparat hukum sekiranya dapat menindak tegas
sesuai perundang-undangan yang berlaku. bagi siapa yang kedapatan
menggunakan ijasah palsu.
Herman Haerudin
Sumber : http://hminews.com
Link : http://adf.ly/1KyQAn
0 komentar:
Posting Komentar