Melqy de
rantau
pelbagai
cara yang dilakukan rezim SBY-Budiono guna memberantas korupsi dari bumi
Indonesia. Antara lain kesepakatan memorandum
of understanding (MoU) yang akan mengawasi 10 area yang
rawan dengan tindakan korupsi. MoU tersebut merupakan hasil kerja sama tiga institusi penegak hukum yaitu, Kejagung, Mabes
Polri dan KPK. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) jangka menengah (2012-2014) dan jangka
panjang (2012-2025) melalui Peraturan Presiden (perpres). yang memiliki tujuan
upaya pemerintah dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi sebagai itikad yang berkesinambungan pemerintah demi
mewujudkan penyelenggaraan negara yang semakin bersih dan berwibawa. Yang
didukung nilai budaya berintegritas. Sejumlah pihak pun juga dilibatkan dalam
proses penerbitan strategi antikorupsi tersebut seperti Bappenas, UKP4, lembaga
penegak hukum, masyarakat sipil penggiat antikorupsi, serta para pakar lokal
maupun internasional. (JURNAS, 18/4).
Namun,
ternyata praktik-praktik korupsi justru semakin menggurita dalam lingkaran
kekuasaan sendiri. Lihat saja megakorupsi Wisma Atliet SEA Games serta sekolah
olahraga Hambalang yang menyeret sejumlah politisi partai demokrat yang tak
lain partai penguasa. Padahal SBY pernah mengatakan akan turun gunung
memberantas korupsi, namun nyatanya janji busuk tersebut sebatas retorika dan
ilusi politik belaka.
Hukum
Tak Berkelamin
Di era reformasi yang
serba demokrasi prilaku korupsi semakin bersemi dalam lingkaran
birokrasi-kleptokrasi. Tak tanggung koruptor pun mengeruk uang Negara atas nama
demokrasi. Inilah “mafia berjubah demokrasi”. Lalu apa Sumbu persoalannya?
Menurut penulis setidaknya ada lima hal. Pertama,
akibat lemahnya penegakan hukum bagi para koruptor, sehingga koruptor banyak
yang berkeliaran diluar sana. Kedua, lemahnya peraturan perundangan
tentang tindak pidana korupsi. Ketiga, inkonsistensi dalam menegakkan
keadilan dan longgarnya kontrol sosial masyarakat serta kurangnya kesadaran dan
kepedulian masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Keempat,
absennya pemimpin yang visioner dan yang amanah, bisa dibilang saat ini
otentisitas kepemimpinan menjadi salah satu problem utama yang dihadapi bangsa
ini. Dan yang terakhir komitmen penegak hukum
terutama KPK sebagai institusi superbody tidak jelas dalam memberantas
korupsi. Sebab KPK selalu tebang pillih dalam menindak koruptor.
Hukum
Mati
Lord
Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli,
atau karena adanya kekuasaan yang mutlak.
Demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para
koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara
yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.
SEORANG penulis India, Kautilya, 2300
tahun lampau menulis; Just
as it is impossible not to taste honey or poison that one may find at the tip
of one’s tongue, so it is impossible for one dealing with government funds not
to taste, at least a little bit of the King’s wealth. Kemudian dia
lanjutkan, just as it is
impossible to know when a fish moving in water is drinking it, so it is
impossible to find out when government servants in charge of undertakings
misappropriate money. Begitulah sulitnya untuk menghindar dan
mengetahui korupsi. Begitulah korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan
kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah.
Sumber : melqyderantau.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar